Kecerdasan Spiritual dan Moral Guru

Posted: Juni 18, 2011 in Uncategorized

 

BAB I

PENDAHULUAN

  1. A.    Latar Belakang

Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Manusia memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh makhluk Tuhan yang lain. Akal merupakan kelebihan yang telah diberikan Tuhan kepada manusia. Dengan akal manusia mampu belajar, berfikir, memahami serta melakukan mana yang baik dan mana yang buruk. Mana yang boleh dan mana yang tidak. Dengan akal yang dimiliki, seorang manusia mampu mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidupnya yaitu memaksimalkan proses berfikir sehingga dapat dikatakan manusia dibekali kecerdasan yang luar biasa dibanding dengan makhluk Tuhan yang lain.

Sering kita temui, para pendidik (guru) yang bekerja semata – mata untuk mencari nafkah, memperoleh penghasilan, hanya untuk mendapatkan materi bukan untuk mendapatkan sebuah kepuasan batin. Padahal dalam ajaran agama sendiri dijelaskan, ketika seseorang memilih untuk bekerja apa pun itu, maka semua itu harus didasari niat beribadah kepada Tuhan. Namun, banyak yang lupa akan hal itu sehingga menganggap ketika dia (guru) telah memberikan pengajaran tentang suatu pengetahuan, hanya sebatas itu saja, tanpa memikirkan bagaimana budi pekerti atau sikap perilaku anak didiknya.

Hanya sedikit guru yang mampu memberikan pelajaran, tidak hanya memberikan ilmu pengetahuan, tetapi juga mendidik para peserta didik agar menjadi manusia yang berbudi. Para pendidik yang seperti ini berarti mampu mengenali dan memahami apa hakikat dari apa yang dia lakukan tersebut yaitu menjadi seorang pendidik, panutan bagi orang – orang di sekitarnya terutama bagi peserta didiknya.
Guru juga seorang manusia di mana masih perlu banyak belajar. Guru merupakan salah satu profesi yang terhormat karena dari perantara seorang gurulah kita mendapatkan berbagai macam ilmu dan pengetahuan. Guru harus mampu memberikan teladan yang baik bagi murid-muridnya karena setiap sikap dan tingkah lakunya selalu menjadi sorotan lingkungan sekitarnya. Untuk itu, seorang pendidik (guru) harus mampu mengoptimalkan IQ, EQ dan SQ yang dimiliki agar nantinya mampu melahirkan para generasi yang juga memiliki IQ, EQ dan SQ yang baik.

Seorang guru harus memiliki kecerdasan spiritualnya memadai.Kecerdasan spiritual ini merupakan modal dasar bagi seorang guru untuk menjadi sosok yang diharapkanmampu memberikan pencerahan batin bagi anak didiknya.

 

  1. B.     Rumusan masalah
    1. Bagaimana pengertian kecerdasan spiritual/moral guru ?
    2. Bagaimana dalil-dalil Al-Qur’an yang melandasi kecerdasan spiritual/moral ?
    3. Bagaimana cara mengembangkan kecerdasan spiritual/moral guru ?
    4. Bagaimana cara mengimplementasikan kecerdasan spiritual/moral guru dalam mendidik siswa ?
    5. Bagaimana hubungan antara kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan spiritual (SQ) dan kecerdasan moral (MQ) ?

 

  1. C.    Tujuan
    1. Mengetahui pengertian kecerdasan spiritual/moral guru.
    2. Mengetahui dalil-dalil Al-Qur’an yang melandasi kecerdasan spiritual/moral.
    3. Mengetahui cara mengembangkan kecerdasan spiritual/moral guru.
    4. Mengetahui cara mengimplementasikan kecerdasan spiritual/moral guru dalam mendidik siswa.
    5. Mengetahui hubungan antara kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan spiritual (SQ) dan kecerdasan moral (MQ).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

  1. A.    Pengertian Kecerdasan Spiritual (SQ) dan Kecerdasan Moral (MQ) Guru
    1. 1.    Pengertian Kecerdasan Spiritual Guru

Spiritual diambil kata spiritus yang artinya sesuatu yang bisa memperkuat vitalitas hidup kita. Spiritual atau spiritus itu menurut teori dasarnya memang berbeda dengan agama. Spiritus adalah bawaan manusia dari lahir, sedangkan agama adalah sesuatu yang datangnya dari luar diri kita. Agama memiliki seperangkat ajaran yang dimasukan ke dalam tubuh kita. Ajaran agama, sejauh itu diserap dari kulit sampai isi maka akan meningkatkan spiritual kita.

Kecerdasan spiritual atau yang biasa dikenal dengan SQ (spiritual quotient) adalah kecerdasan jiwa yang membantu seseorang untuk mengembangkan dirinya secara utuh melalui penciptaan kemungkinan untuk menerapkan nilai-nilai positif.[1]

Danah Zohar dan Ian Marshall mendefenisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk menghadapi berbagai persoalan makna/nilai yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibanding dengan yang lain.[2]  Makna hidup yang dimaksud meliputi hasrat untuk hidup bermakna (The will to meaning) yang memotivasi kehidupan manusia untuk senantiasa mencari makna hidup (The meaningfull life).

Kecerdasan spiritual merupakan puncak kecerdasan, setelah kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan moral. Meskipun terdapat benang merah antara kecerdasan spiritual dan kecerdasan moral, namun muatan kecerdasan spiritual lebih dalam, lebih luas dan lebih transenden daripada kecerdasan moral.

 

SQ adalah landasan yang di perlukan untuk memfungsikan IQ, EQ dan MQ secara efektif. Dengan demikian SQ merupakan kecerdasan tinggi kita, yang mampu memberikan makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah pemikiran bersifat fitrah (suci) menuju manusia seutuhnya (hanif) dan memiliki pola pemikiran tauhid (integralistik), serta bersifat hanya karena Allah semata.[3] Sehingga kecerdasan spiritual mempunyai hubungan dengan kualitas batin seseorang, yang mengarahkan seseorang untuk berbuat lebih manusiawi, sehingga dapat menjangkau nilai-nilai luhur yang mungkin belum tersentuh oleh akal pikiran manusia. SQ walaupun mengandung kata spiritual tidak selalu terkait dengan kepercayaan atau agama. SQ lebih kepada kebutuhan dan kemampuan manusia untuk menemukan arti dan menghasilkan nilai melalui pengalaman yang mereka hadapi. Akan tetapi, beberapa penelitian menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki kepercayaan atau menjalankan agama,umumnya memiliki tingkat kecerdasan spiritual yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki kepercayaan atau tidak menjalankan agama.

Menurut pandangan Islam, kecerdasan spiritual memiliki makna yang sama dengan Al-ruh, pemahaman Al-ruh tidak terlepas dari QS.32 Surat Sajadah (Sujud) ayat 9 sebagai berikut:

ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ وَالأفْئِدَةَ قَلِيلا مَا تَشْكُرُونَ

Artinya: “Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur”. (QS. As-sajadah: 9).

SQ adalah kapasitas bawaan dari otak manusia yang memberikan kemampuan dasar untuk membentuk makna, nilai dan keyakinan, dan memungkinkan kita untuk mengetahui apa sesungguhnya diri kita dan apa arti suatu jiwa (Dahar Zohar dan Ian Marshall, 2005).  SQ melibatkan kemampuan menghidupkan kebenaran yang paling dalam. Itu berarti mewujudkan hal yang terbaik, utuh, dan paling manusiawi dalam batin. Gagasan, energi, nilai, visi, dorongan, dan suatu keadaan kesadaran yang hidup bersama cinta, dari sudut psikologi memberi tahu kita bahwa ruang spiritual pun memiliki arti kecerdasan. Logika sederhananya: di antara kita bisa saja ada yang tidak cerdas secara spiritual, dengan ekspresi keberagamaannya yang monolitik, eksklusif, dan intoleran, yang sering kali berakibat pada kobaran konflik atas nama agama. Begitu juga sebaliknya, di antara kita bisa juga ada orang yang cerdas secara spiritual sejauh orang itu mengalir dengan penuh kesadaran, dengan sikap jujur dan terbuka, inklusif, dan bahkan pluralis dalam beragama di tengah pluralitas agama.  SQ adalah suara hati Ilahiyah yang memotivasi seseorang untuk berbuat atau tidak berbuat. Kalau EQ berpusat di hati, maka SQ berpusat pada ‘hati nurani’ (Fuad/dhamir). Kebenaran suara fuad tidak perlu diragukan Sejak awal kejadiannya, ‘fuad’ telah tunduk kepada perjanjian ketuhanan sebagaimana disebutkan dalam Al Quran sebagai berikut:  Artinya: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah aku ini Tuhanmu?’ mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi’. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)’, (QS. Al A’raf : 172).

Mengacu kepada paparan di atas, dapat ditegaskan bahwa Islam memberikan apresiasi yang tinggi terhadap SQ. Tinggal bagaimana manusia memelihara SQ-nya agar dapat berfungsi secara optimal.

Dari pengertian kecerdasan spiritual di atas maka kecerdasan spiritual guru dapat diartikan sebagai kemampuan guru dalam  mengelola dan mendayagunakan makna-makna, nilai-nilai, dan kualitas-kualitas kehidupan spiritualnya. Kehidupan spiritual disini meliputi hasrat untuk hidup bermakna (the will to meaning) yang memotivasi seorang guru untuk senantiasa mencari makna hidup dan mendambakan hidup yang bermakna.

Seorang guru yang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi ditandai dengan adanya pertumbuhan dan transformasi pada dirinya, tercapainya kehidupan yang berimbang antara karier/pekerjaan dan pribadi/keluarga, serta adanya perasaan suka cita serta puas yang diwujudkan dalam bentuk menghasilkan kontribusi yang positif dan berbagi kebahagiaan kepada lingkungan.

 

  1. 2.    Pengertian Kecerdasan Moral Guru

Moral menunjukkan arti akhlak, tingkah laku yang bersusila, ciri-ciri khas seseorang atau kelompok orang dengan perilaku pantas dan baik menurut hukum atau adat-istiadat yang mengatur tingkah laku.  Menurut Johannes, moral merupakan istilah yang sering dipertukarkan dengan etika. Poedjawiyatna mendefenisikan moral dengan sikap dan tindakan yang memacu pada baik buruk. Normanya adalah menentukan benar salah sikap dan tindakan manusia dilihat dari aspek buruknya. Menurut Robert Coles, kecerdasan moral seolah-olah bidang ketiga dari kegiatan otak (setelah kecerdasan intelektual dan emosional) yang berhubungan dengan kemampuan yang tumbuh perlahan-lahan untuk merenungkan mana yang salah dan mana yang benar, dengan menggunakan sumber emosional dan intelektual manusia. Istilah moral dalam Islam dikenal dangan istilah ‘akhlaq’ yang berakar dari kata ‘khalaqa’ yang artinya menciptakan, penciptaan psikis disebut ‘khuluq’, sehingga akhlaq merupakan bentuk atau kondisi batin dari penciptaan manusia.

Kecerdasan moral dalam Islam adalah kecerdasan yang berhubungan dangan pelaksanaan nilai-nilai moral yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dan yang berlaku pada tradisi manusia (‘uruf). Dengan kata lain kecerdasan moral merupakan kecerdasan yang berkaitan dengn hubungan kepada sesama manusia dan alam semesta, dengan tujuan untuk mengarahkan seseorang untuk bertindak dengan baik sehingga orang lain merasa senang dan gembira kepadanya tanpa ada rasa sakit, iri hati, dengki, dendam dan angkuh. Indikator kecerdasan moral adalah bagaimana seseorang merefleksikan pengetahuannya tentang moral yang benar kedalam kehidupan nyata, menghindarkan diri dari moral yang buruk. Orang yang baik adalah orang yang memiliki kecerdasan moral, sedang orang yang jahat adalah orang yang idiot moralnya. Struktur nafsani (Psikopisik) dari kecerdasan moral antara lain adalah santun, bijak, tidak angkuh dan tidak sombong. Salah satu moral tertinggi yang dapat dipandang sebagai simbol cinta dan jalan terbaik dalam pencapaiannya adalah kerendahan hati. Orang yang rendah hati memiliki kecerdasan moral yang tinggi, sedangkan orang yang sombong memiliki kecerdasan moral yang rendah. Luqman sebagaimana firman Allah Swt dalam Al-Quran, mengingatkan putra-putranya akan kesombongan .Artinya: Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. (QS. Luqman : 18)

“Kecerdasan moral adalah kemampuan memahami hal yang benar dan yang salah: artinya, memiliki keyakinan etika yang kuat dan bertindak berdasarkan keyakinan tersebut” Michele Borba

Dari pengertian kecerdasan moral di atas, maka kecerdasan moral guru dapat diartikan sebagai pelaksanaan nilai-nilai moral yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dan yang berlaku pada tradisi manusia (‘uruf). Dengan kata lain kecerdasan moral merupakan kecerdasan yang berkaitan dengn hubungan seorang guru  dengan sesama manusia dan alam semesta, sehingga tercipta hubungan yang harmonis antar sesama. Indikator guru yang memilki kecerdasan moral adalah bagaimana seorang guru merefleksikan pengetahuannya tentang moral yang benar kedalam kehidupan nyata, menghindarkan diri dari moral yang buruk, serta mampu memberi teladan yang baik bagi anak didiknya.

 

  1. B.       Dalil Tentang Kecerdasan Spiritual

Kecerdasan spiritual dalam Islam sesungguhnya bukan pembahasan yang baru. Bahkan masalah ini sudah lama diwacanakan oleh para sufi. Kecerdasan spiritual (SQ) berkaitan langsung dengan unsur ketiga manusia. Seperti telah dijelaskan terdahulu bahwa manusia mempunyai substansi ketiga yang disebut dengan roh. Keberadaan roh dalam diri manusia merupakan intervensi langsung Allah Swt tanpa melibatkan pihak-pihak lain, sebagaimana halnya proses penciptaan lainnya. Hal ini dapat difahami melalui penggunaan redaksional ayat sebagai berikut:

فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ

             Artinya:

“Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan) Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud”. (Q.S.al-Hijr/15:29)

فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ

             Artinya:

“Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan) Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya”. (Q.S.Shad/38:72).

Ayat tersebut di atas menggunakan kata (dari ruh-Ku) , bukan kata (dari roh Kami) sebagaimana lazimnya pada penciptaan makhluk lain. Ini mengisyaratkan bahwa roh yang ada dalam diri manusia itulah yang menjadi unsur ketiga dan unsur ketiga ini pula yang menyebabkan seluruh makhluk harus sujud kepada Adam. Ini menggambarkan seolah-olah ada obyek sujud lain selain Allah. Unsur ketiga ini pula yang mem-backup manusia sebagai khalifah (representatif) Tuhan di bumi.

Kehadiran roh atau unsur ketiga pada diri seseorang memungkinkannya untuk mengakses kecerdasan spiritual. Namun, upaya untuk mencapai kecerdasan itu tidak sama bagi setiap orang. Seorang Nabi atau wali tentu lebih berpotensi untuk mendapatkan kecerdasan ini, karena ia diberikan kekhususan-kekhususan yang lebih dibanding orang-orang lainnya. Namun tidak berati manusia biasa tidak bisa mendapatkan kecerdasan ini.

 

  1. C.    Cara Mengembangkan Kecerdasan Spiritual/Moral

v Langkah-langkah mengembangkan kecerdasan spiritual:

  1. Kenali diri sendiri. Karena orang yang sudah tidak bisa mengenal dirinya sendiri akan mengalami krisis makna hidup maupun krisis spiritual.
  2. Lakukan intropeksi diri. Dalam bahasa agama dikenal dengan ‘pertobatan’ lakukan pertanyaan pada diri sendiri. Apa saja yang kita sudah lakukan, benar atau salah.
  3. Aktifkan hati secara rutin. Dalam konteks orang beragama ini disebut mengingat Tuhan, karena Dia adalah sumber kebenaran tertinggi dan kepada-Nya kita kembali. Mengingat Tuhan dapat dilakukan melalui sholat, berzikir, dan lain sebagainya yang dapat mengisi hati manusia dengan sifat-sifat Tuhan.

Setelah kita mengingat Sang Khalik, kita akan menemukan keharmonisan dan ketenangan dalam hidup. Misalnya kita tidak akan takut rezeki kita akan hilang karena rezeki kita sudah dijamin, namun kita justru harus takut untuk melakukan perbuatan yang dilarang. Kita tidak akan lagi menjadi manusia yang rakus akan materi, tapi dapat merasakan kepuasan tertinggi berupa kedamaian dalam hati dan jiwa, sehingga kita mencapai kesseimbangan dalam hidup dan merasakan kebahagiaan spiritual.

v Sedangkan cara mengembangkan kecerdasan moral sebagaimana dikeukakan oleh Michele Borba dalam bukunya Membangun Kecerdasan Moral bahwasannya  Kecerdasan Moral terbangun dari tujuh kebajikan utama yaitu:

  1. Empati, merupakan inti emosi moral yang dapat membantu anak memahami perasaan orang lain. Kebajikan ini membuat anak menjadi peka terhadap kebutuhan dan perasaan orang lain, dan mendorongnya menolong orang yang memerlukan bantuan, serta memperlakukan orang dengan kasih sayang.
  2. Hati Nurani adalah suara hati yang membantu anak memilih jalan yang benar serta tetap berada di jalur yang bermoral; membuat dirinya merasa bersalah ketika menyimpang. Kebijakan ini merupakan fondasi bagi sifat jujur, tanggung jawab, dan integritas diri yang tinggi.
  3. Kontrol Diri, membantu anak menahan dorongan dari dalam dirinya dan berpikir sebelum bertindak, sehingga ia melakukan hal yang benar. Kebajikan ini membuat anak menjadi mandiri.Sifat ini akan membangkitkan sifat murah dan baik hati dan tidak egois.
  4. Rasa Hormat, mendorong bersikap baik dan menghormati orang lain, sehingga mencegah anak berbuat jahat, tidak adil, bertindak kasar dan bersikap memusuhi, dan juga anak akan memperhatikan hak-hak serta perasaan orang lain.
  5. Kebaikan Hati membantu anak mampu menunjukan kepedulian terhadap kesejahteraan dan perasaan orang lain. kebajikan ini menjadikan anak lebih belas kasih dan tidak hanya memikirkan diri sendiri.
  6. Toleransi membuat anak mampu menghargai perbedaan kualitas dalam diri orang lain, terbuka terhadap pandangan dan keyakinan baru dan menghargai tanpa membedakan suku, gender, penampilan, budaya ,dll.
  7. Keadilan menuntun anak agar memperlakukan orang lain dengan baik, tidak memihak serta adil.[4]

 

  1. D.    Implementasi (Wujud) Kecerdasan Spiritual/Moral Guru dalam Mendidik Siswa
    1. Jadilah gembala spiritual. Orang tua atau guru yang bermaksud mengembangkan SQ anak haruslah seseorang yang sudah mengalami kesadaran spiritual juga. Ia sudah “mengakses” sumber-sumber spiritual untuk mengembangkan dirinya. Seperti disebutkan di atas -yakni karakteristik orang yang cerdas secara spiritual, ia harus dapat merasakan kehadiran dan peranan Tuhan dalam hidupnya. “Spiritual intelligence is the faculty of our non-material dimension- the human soul,” kata Khalil Khavari. Ia harus sudah menemukan makna hidupnya dan mengalami hidup yang bermakna. Ia tampak pada orang-orang di sekitarnya sebagai “orang yang berjalan dengan membawa cahaya.” (Al-Quran 6:122). Ia tahu ke mana ia harus mengarahkan bahteranya. Ia pun menunjukkan tetap bahagia di tengah taufan dan badai yang melandanya. “Spiritual intelligence empowers us to be happy in spite of circumstances and not because of them,” masih kata Khavari. Bayangkalah masa kecil kita dahulu. Betapa banyaknya perilaku kita terilhami oleh orang-orang yang sekarang kita kenal sebagai orang yang berSQ tinggi. Dan orang-orang itu boleh jadi orang-tua kita, atau guru kita, atau orang-orang kecil di sekitar kita.
    2. Rumuskan missi hidup. Nyatakan kepada anak bahwa ada berbagai tingkat tujuan, mulai dari tujuan paling dekat sampai tujuan paling jauh, tujuan akhir kita.
    3. Baca Kitab Suci. Setiap agama pasti punya kitab suci. Begitu keterangan guru-guru kita. Tetapi tidak setiap orang menyediakan waktu khusus untuk memperbincangkan kitab suci dengan anak-anaknya. Di antara pemikir besar Islam, yang memasukkan kembali dimensi ruhaniah ke dalam khazanah pemikiran Islam, adalah Dari Muhammad Iqbal. Walaupun ia dibesarkan dalam tradisi intelektual barat, ia melakukan pengembaraan ruhaniah bersama Jalaluddin Rumi dan tokoh-tokoh sufi lainnya. Boleh jadi, yang membawa Iqbal ke situ adalah pengalaman masa kecilnya. Setiap selesai salat Subuh, ia membaca Al-Quran. Pada suatu hari, bapaknya berkata, “Bacalah Al-Quran seakan-akan ia diturunkan untukmu!” Setelah itu, kata Iqbal, “aku merasakan Al-Quran seakan-akan berbicara kepadaku.”
    4. Ceritakan kisah-kisah agung. Anak-anak, bahkan orang dewasa, sangat terpengaruh dengan cerita. “Manusia,” kata Gerbner, “adalah satu-satunya makhluk yang suka bercerita dan hidup berdasarkan cerita yang dipercayainya.” Para Nabi mengajar umatnya dengan parabel atau kisah perumpamaan. Para sufi seperti Al-‘Attar, Rumi, Sa’di mengajarkan kearifan perenial dengan cerita. Sekarang Jack Canfield memberikan inspirasi pada jutaan orang melalui Chicken Soup-nya. Kita tidak akan kekurangan cerita luhur, bila kita bersedia menerima cerita itu dari semua sumber. Saya senang berdiskusi dengan anak-anak saya bukan hanya kisah-kisah Islam saja, juga cerita-cerita dalam Alkitab, kisah-kisah dari Cina dan India, mitologi Yunani, dongeng-dongeng dari berbagai tempat di tanah air, sejak kisah-kisah pewayangan di Jawa sampai dongeng-dongeng dari Maluku. Begitu pula, saya membaca cerita-cerita Andersen, fabel-fabelnya Jean de la Fontaine, sampai Crayon Sin Chan. Saya selalu menemukan pelajaran berharga di dalamnya. Saya bagikan pelajaran itu pada anak-anak saya, yang dilahirkan baik oleh isteri saya, maupun oleh isteri-isteri orang lain (misalnya, yang saya ajar di sekolah saya).
    5. Diskusikan berbagai persoalan dengan perspektif ruhaniah. Melihat dari perspektif ruhaniah artinya memberikan makna dengan merujuk pada Rencana Agung Ilahi (Divine Grand Design). Mengapa hidup kita menderita? Kita sedang diuji Tuhan. Dengan mengutip Rumi secara bebas, katakan kepada anak kita bahwa bunga mawar di taman bunga hanya merkah setelah langit menangis. Anak kecil tahu bahwa ia hanya akan memperoleh air susu dari dada ibunya setelah menangis. Penderitaan adalah cara Tuhan untuk membuat kita menangis. Menangislah supaya Sang Perawat Agung memberikan susu keabadian kepadamu. Mengapa kita bahagia? Perhatikan bagaimana Tuhan selalu mengasihi kita, berkhidmat melayani keperluan kita, bahkan jauh sebelum kita dapat menyebut asma-Nya.
    6. Libatkan anak dalam kegiatan-kegiatan ritual keagamaan. Kegiatan agama adalah cara praktis untuk “tune in” dengan Sumber dari Segala Kekuatan. Ambillah bola lampu listrik di rumah Anda. Bahaslah bentuknya, strukturnya, komponen-komponennya, kekutan cahayanya, voltasenya, dan sebagainya. Anda pasti menggunakan sains. Kegiatan agama adalah kabel yang menghubungkan bola lampu itu dengan sumber cahaya. Sembahyang, dalam bentuk apa pun, mengangkat manusia dari pengalaman fisikal dan material ke pengalaman spiritual. Untuk itu, kegiatan keagamaan tidak boleh dilakukan dengan terlalu banyak menekankan hal-hal yang formal. Berikan kepada anak-anak kita makna batiniah dari setiap ritus yang kita lakukan. Sembahyang bukan sekedar kewajiban. Sembahyang adalah kehormatan untuk menghadap Dia yang Mahakasih dan Mahasayang!
    7. Bacakan puisi-puisi, atau lagu-lagu yang spiritual dan inspirasional. Seperti kita sebutkan di atas, manusia mempunyai dua fakultas, fakultas untuk mencerap hal-hal material dan fakultas untuk mencerap hal-hal spiritual. Kita punya mata lahir dan mata batin. Ketika kita berkata “masakan ini pahit”, kita sedang menggunakan indra lahiriah kita. Tetapi ketika kita berkata “keputusan ini pahit”, kita sedang menggunakan indra batiniah kita. Empati, cinta, kedamaian, keindahan hanya dapat dicerap dengan fakultas spiritual kita (Ini yang kita sebut sbg SQ). SQ harus dilatih. Salah satu cara melatih SQ ialah menyanyikan lagu-lagu ruhaniah atau membacakan puisi-puisi. Jika Plato berkata “pada sentuhan cinta semua orang menjadi pujangga”, kita dapat berkata “pada sentuhan puisi semua orang menjadi pecinta.”
    8. Bawa anak untuk menikmati keindahan alam. Teknologi moderen dan kehidupan urban membuat kita teralienasi dari alam. Kita tidak akrab lagi dengan alam. Setiap hari kita berhubungan dengan alam yang sudah dicemari, dimanipulasi, dirusak. Alam tampak di depan kita sebagai musuh setelah kita memusuhinya. Bawalah anak-anak kita kepada alam yang relatif belum banyak tercemari. Ajak mereka naik ke puncak gunung. Rasakan udara yang segar dan sejuk. Dengarkan burung-burung yang berkicau dengan bebas. Hirup wewangian alami. Ajak mereka ke pantai. Rasakan angin yang menerpa tubuh. Celupkan kaki kita dan biarkan ombak kecil mengelus-elus jemarinya. Dan seterusnya. Kita harus menyediakan waktu khusus bersama mereka untuk menikmati ciptaan Tuhan, setelah setiap hari kita dipengapkan oleh ciptaan kita sendiri.
    9. Bawa anak ke tempat-tempat orang yang menderita. Nabi Musa pernah berjumpadengan Tuhan di Bukit Sinai. Setelah ia kembali ke kaumnya, ia merindukan pertemuan dengan Dia. Ia bermunajat, “Tuhanku, di mana bisa kutemui Engkau.” Tuhan berfirman, “Temuilah aku di tengah-tengah orang-orang yang hancur hatinya.” Di sekolah kami ada program yang kami sebut sebagai “spiritual camping”. Kami bawa anak-anak ke daerah pedesaan, di mana alam relatif belum terjamah oleh teknologi. Malam hari, mereka mengisi waktunya dengan beribadat dan tafakkur. Siang hari mereka melakukan action research, untuk mencari dan meneliti kehidupan orang yang paling miskin disekitar itu. Seringkali, ketika mereka melaporkan hasil penelitian itu, mereka menangis. Secara serentak, mereka menyisihkan uang mereka untukmemberkan bantuan. Dengan begitu, mereka dilatih untuk melakukan kegiatan sosial juga.
    10. Ikut-sertakan anak dalam kegiatan-kegiatan sosial. Saya teringat cerita nyata dari Canfield dalam Chicken Soup for the Teens. Ia bercerita tentang seorang anak yang “catatan kejahatannya lebih panjang dari tangannya.” Anak itu pemberang, pemberontak, dan ditakuti baik oleh guru maupun kawan- kawannya. Dalam sebuah acara perkemahan, pelatih memberikan tugas kepadanya untuk mengumpulkan makanan untuk disumbangkan bagi penduduk yang termiskin. Ia berhasil memimpin kawan-kawannya untuk mengumpulkan dan membagikan makanan dalam jumlah yang memecahkan rekor kegiatan sosial selama ini. Setelah makanan, mereka mengumpulkan selimut dan alat-alat rumah tangga. Dalam beberapa minggu saja, anak yang pemberang itu berubah menjadi anak yang lembut dan penuh kasih. Seperti dilahirkan kembali, ia menjadi anak yang baik – rajin, penyayang, dan penuh tanggung jawab.

Hal-hal diatas, merupakan sebagian kecil dari wujud kecerdasan spiritual yang diwujudkan dalam tindakan nyata. Masih banyak lagi wujud kecerdasan spiritual dalam versi lain, diantaranya dengan menampakan cinta dan keindahan, menampakan kesabaran, menampakan keuletan, manampakan kejujuran dan keadilan, menampakan kreatifitas dan gairah, menampakan kedisiplinan dan konsistensi, dan lain sebagainya.[5]

 

  1. E.     Hubungan Antara IQ, EQ, SQ dan MQ

Dari pembahasan sebelumnya, dapat kita simpulkan bahwasanya kecerdasan intelektual (IQ) merupakan sesuatu yang penting bagi pemahaman seseorang terhadap lingkungan, serta proses berpikir dan ia dapat dikatakan salah satu factor penentu kesuksesan hidup seseorang. Tapi itu hanya sebatas syarat minimal meraih keberhasilan, kecerdasan emosilah yang sesungguhnya mengantarkan seseorang menuju puncak prestasi.

Memang IQ dan EQ adalah dua kecerdasan yang diperlukan untuk penyelarasan, penyelesaian masalah kebutuhan seseorang yang bersifat materi (jasmani), namun lebih dari itu manusia juga memerlukan konsep kecerdasan tinggi yang mampu memenuhi keselarasan ruhaninya, kecerdasan itu tidak lain adalah kecerdasan spiritual (SQ) yang bersumber dari suara hati.

Kecerdasan ini tidak hanya mencakup hubungan vertikal yaitu hubungan manusia dengan Tuhannnya, tetapi juga hubungan horizontal yaitu bagaimana perilaku atau nilai-nilai yang dianut dalam interaksinya dengan sesama manusia ataupun dengan makhluk lainnya. Inilah yang dinamakan kecerdasan moral (MQ). Kecerdasan moral menjadikan hidup manusia memiliki tujuan.

Jika kita tarik benang merah, kecerdasan-kecerdasan tersebut diatas memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. Kecerdasan Intelektual yaitu tingkat berpikir yang diperlukan dalam proses pemahaman seseorang terhadap diri sendiri dan lingkungan yang akan membawanya kepada persoalan spiritual misalnya asal dan tujuan hidup, jadi kecerdasan intelektual berpengaruh pada kecerdasan spiritual. Melalui pengenalan diri yang dalam, maka pengenalan terhadap orang lain dan lingkungan juga semakin baik, hal ini menimbulkan kepedulian terhadap sesama dan persoalan hidup yang dihadapi bersama, disinilah letak kecerdasan emosi. Lalu bagaimana dengan kecerdasan moral??.

Kecerdasan spiritual yang merupakan kecerdasan yang berasal dari suara hati nurani yang ada pada diri manusia diejawantahkan diwujudkan dalam perilaku, yang sesuai dengan sifat-sifat Tuhan. Inilah kecerdasan moral.

Kecerdasan moral sangat erat hubungannya dengan kecerdasan spiritual, seseorang yang memiliki kecerdasan spiritual yang baik juga memiliki kecerdasan moral yang baik. Karena kecerdasan spiritual membimbing kita untuk mendidik hati menjadi benar. Secara vertikal, kecerdasan spiritual bisa mendidik hati kita menjalin hubungan dekat dengan Tuhan. Jika dalam Islam ditegaskan dalam Al.Qur’an : “Ketahuilah, dengan berzikir ke hadirat Allah, hati kalian menjadi tenang”. Maka zikir (mengingat Allah dengan lafazh tertentu) merupakan salah satu metode kecerdasan spiritual untuk mendidik hati menjadi tenang dan damai. Secara horizontal, kecerdasan spiritual mendidik hati kepada budi pekerti yang baik dan moral yang beradab.

Guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih dan mengevaluasi. Di mata siswa guru merupakan sosok manusia yang harus digugu dan dituru dalam segala aspek kehidupannya. Oleh karenanya, guru harus mampu mengolah semua potensi kecerdasan (IQ,EQ, dan SQ) yang dimilikinya, sehingga segala apa yang dilakukan oleh guru betul-betul terkendali dan bisa digugu dan ditiru (diteladani) baik cara guru dalam bertutur kata, berpakaian, berprilaku, berilmu, bahkan menjadi teladan dalam beribadah.

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

KESIMPULAN

Kecerdasan spiritual ialah  kecerdasan jiwa yang membantu seseorang untuk mengembangkan dirinya secara utuh melalui penciptaan kemungkinan untuk menerapkan nilai-nilai positif.

Kecerdasan spiritual guru dapat diartikan sebagai kemampuan guru dalam  mengelola dan mendayagunakan makna-makna, nilai-nilai, dan kualitas-kualitas kehidupan spiritualnya.

Nilai-nilai inilah yang kemudian diterapkan dalam hubungan dan pergaulanya dengan sesama manusia (anak didik), sehingga tercipta hubungan yang harmonis inilah yang disebut dengan kecerdasan moral.

Seorang guru yang memilki kecerdasan moral, akan merefleksikan pengetahuannya tentang moral yang benar kedalam kehidupan nyata, menghindarkan diri dari moral yang buruk, serta mampu memberi teladan yang baik bagi anak didiknya.

SQ memiliki keterkaitan yang erat dengan IQ dan EQ. IQ dan EQ adalah dua kecerdasan yang diperlukan untuk penyelarasan, penyelesaian masalah kebutuhan seseorang yang bersifat materi (jasmani), namun lebih dari itu manusia juga memerlukan konsep kecerdasan tinggi yang mampu memenuhi keselarasan ruhaninya, kecerdasan itu tidak lain adalah kecerdasan spiritual (SQ) yang bersumber dari suara hati.

Kecerdasan spiritual, dapat dikembangkan dengan latihan-latihan tertentu. Aplikasi atau wujud dari kecerdasan spiritual pun bermacam-macam. Bagi seorang Guru, kecerdasan spiritual dapat diterapkan ketika dia mendidik. Dengan cara mengaplikasikan nilai-nilai keagamaan, serta menjadi teladan yang baik bagi para peserta didik melalui akhlak yang mulia, menjaga hubungan dengan alam, serta menjalin hubungan yang baik terhadap sesama.


[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Kecerdasan_spiritual, diakses tanggal 22 April 2011.

[2] Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ, (Jakarta:  Penerbit Arga, 2001), hal. 57.

[3] Ibid., 57.

[5] Muhammad Muhyidin, Manajemen ESQ Power, (Jogjakarta: DIVA Press, 2007), hal. 244-279.

Tinggalkan komentar